Suku Semende/Semendo
Suku ini memiliki dua sub suku atau bisa juga disebut marga/klan/kaum yaitu Semende Darat dan Semende Lembak.
Suku Semende Darat bertempat tinggal di Pulau Panggung, dan Muara Enim sedangkan Semende Lembak tinggal di Kecamatan Pulau Beringin, Sungai Are, Sindang Danau, dan kecamatan Mekakau Ilir di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Mereka juga tinggal di Kecamatan Semendo Darat Laut, Semendo Darat Tengah, Semendo Darat Ulu dan sebagian lainnya berada di Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari keturunan suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan kemudian menetap dan beranak cucu di daerah Semendo.
Berada di tengah kawasan Bukit Barisan, Semende ini menjadi salah satu daerah dataran tinggi yang menyimpan pesona alam memikat di Sumsel. Eksotisme alam Semende ini umumnya dihiasi dengan hamparan sawah yang berjenjang dan jalanannya yang berkelok menyusuri tebing bukit.
Hampir 100 persem penduduk Semendo hidup dari hasil pertanian, yang masih diolah dengan cara tradisional.
Lahan pertanian di daerah ini cukup subur, karena berada kurang lebih 900 meter di atas permukaan laut. Ada dua komoditi utama dari daerah ini: kopi jenis robusta dengan jumlah produksi mencapai 300 ton per tahunnya, dan padi, dimana daerah ini termasuk salah satu lumbung padi untuk daerah Sumatera Selatan.
Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman yang sangat kuat.
Mulai dari musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya berakhiran "e."
Jika kita ingin menelisik sejarah suku semende ini, maka akan kita dapatkan minimal empat rangkaian pembicaraan atau pembahasan yakni Jeme Semende itu sendiri, Tanah Semende, Bahasa Semende, Adat Semende.
Komunitas Orang Semende banyak didapatkan di Provinsi Sumatera Selatan terutama di daerah Kecamatan Semende, Kabupaten Muara Enim.
Kecamatan Pulau Beringin, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Termasuk bagian dari kelompok Pasemah, termasuk Lematang, Lintang dan Lembak.
Perjalanan hidup orang Semende menganut agama Islam pada awalnya dimulai dari adanya seorang Ulama (Wali) di Semende (Tumutan Tujuh): Tuan Guru Satubaris, dengan gelar Murthabaraq yang setingkat atau semasa dengan para wali Sembilan: Sunan Ampel, di Pulau Jawa sekitar abad 15 Masehi.
Perkembangan orang semende berawal dari perjalanan hidup seorang Ulama Tuan Guru Sutabaris Murthabaraq, konon Sunan Kali Jaga adalah salah satu murid beliau sebelum menjadi Wali Allah.
Di Tumutan Tujuh Semende pernah diadakan rapat dan pertemuan-pertemuan penting para Wali untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di Bumi Nusantara (Indonesia) pada saat itu, diantaranya musyawarah dalam menentukan Raja Islam pertama di Demak, Raden Fatah.
Para Wali tersebut empat orang wakil dari Jawa dan seorang dari Sumatera, yaitu:
1. Sunan Gunung Jati (Cirebon Jawa Barat)
2. Sunan Kali Jaga (Jawa Tengah)
3. Sunan Muria (Jawa Tengah)
4. Sunan Bonang (Jawa Timur)
5. Sutabaris (Sumatera/Semende)
Sumber lain mengatakan banyak orang-orang dan para ulama datang untuk belajar, membawa ilmu pengetahuan dan menetap di Semende, yaitu:
1. Puyang Tuan Raje Ulie tinggal di Prapau
2. Puyang Baharuddin di Muara Danau
3. Puyang Leby (Pengulu Abd. Kohar) di Pulau Panggung
4. Puyang Nakanadin, Puyang Skin Mande (Sang Diwe), Puyang Raden Singe (asal Majapahit) dan Puyang Mas Pangeran Bonang di Muara Tenang
5. Puyang Rabbushshamad dan Puyang Regan Bumi di Tanjung Raya
6. Puyang Same Wali di Tanjung Tiga
7. Puyang Tuan Kecik (Rebiah Sakti) di Tanjung Laut
8. Puyang Raden Walet di Aremantai (Muara Enim)
9. Puyang Rene di Pulau Panggung dari Jepara (Tahun 1800 M)
Puyang dalam istilah semende bukan hanya sebutan untuk orangtua buyut. Tapi juga sebutan untuk orang yang dituakan dan wali/Ulama.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa ajaran islam (Tauhid dan Syariat), adat istiadat ( kebudayaan Islam) sudah sejak lama dikenal oleh Jeme Semende.
Memang suku ini sangat jarang dibincangkan, bahkan keturun semende di era modern ini juga sudah banyak yang tidak tau dengan sejarahnya. Mengapa? Itulah yang harus menjadi perhatian bersama bagi anak keturunan puyang semende.
Namun demikian, ketaatan jeme semende beragama Islam dan menjalankan syariatnya telah dimulai sejak masih anak-anak, muda dan tua telah membuktikan adanya pengaruh ajaran islam yang mendalam kepada jeme semende.
Tata cara ibadah mereka pun banyak yang mendalami kekuatan spritual yang diajarkan oleh syekh bermadzhab tharekat. Bukti kuatnya bahawa Puyang Awak (Nurgadin) belajar agama ke aceh dengan Syekh Abdur Rauf Aa-Sinkily dari aceh sinkil, yang merupakan guru tarekat Satariyah.
Demikian juga di era berdirinya organisasi keislaman, orang-orang semende sangat cocok dan nyaman dengan tatacara ibadah yang diajarkan oleh syekh Hasyim Asy'ari (Nahdhatul Ulama).
Hal ini terbukti dengan adanya kegiatan tahlilal, barzanji, takdutan (kajian fiqih dengan bahasa semende), dzikir bersama, tasyakuran, doa tolak balak, dan lainnya.
Jeme Semende dalam pergaulannya memakai adat tunggu tubang yang berpedoman pada Al-Quran dan Al-Hadist, diantaranya: mencintai, menghargai dan membela perempuan (Tunggu Tubang) yang dipimpin oleh Meraje.
Hal tersebut sesuai dengan salah satu perintah ajaran Islam yang menghormati dan mengangkat harkat martabat wanitan dan tidak boleh membiarkan nasibnya terlunta-lunta.
Pada masa pemerintahan Pangeran Anom Kupang, Belanda bermaksud untuk menduduki daerah Semende, akan tetapi Belanda tidak dapat masuk, karena rakyat Semende sangat melawan. Landasan agama Islam yang kuat menjadi pondasi mereka dalam mempertahankan wilayahnya. Mereka tidak mau diganggu oleh siapapun apalagi dijajah oleh Belanda.
Belanda sangat licik, maka pada 14 Agustus 1869 dibuat perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Pangeran Anom Kupang berupa piagam yang ditulis di atas Tembaga yang berisikan 24 pasal dan disimpan di Museum Rumah Bari Palembang.
Diantara isinya dinyatakan bahwa:
1. Daerah Semende yang dipimpin Pangeran Anom Kupang tidak takluk kepada Pemerintah Belanda.
2. Daerah Semende diakui Belanda sebagai Daerah Istimewa (SINDANG MERDEKA).
3. Tidak diwajibkan membayar upeti (pajak) kepada Belanda
4. Tentara Belanda tidak boleh masuk daerah Sindang Merdeka sebelum mendapat izin Pemerintah Sindang Merdeka.
5. Orang luar Sindang Merdeka tidak berhak mengadili rakyat Sindang Merdeka dan mereka harus dikembalikan ke tempat asal (Sindang Merdeka), dan ia berhak mengadili orang luar bila berbuat kesalahan di dalam daerah Sindang Merdeka. Makanya sampai Indonesia merdeka belanda tidak pernah dapat menyentuh daerah strategis suku semende.
Komentar
Posting Komentar